Di sebuah counter telor supermarket, saya mendengar percakapan menarik antara seorang anak --sekitar 7 tahun dengan ibunya. Rupanya anak itu tertarik dengan beberapa bungkus telor rusak (retak-retak dan berlubang) yang tetap diberi label diskon, dengan harga jauh lebih murah dari harga standar.
"Ini masih dijual Ma?"
"Iya."
"Kok?" anak itu heran, "Siapa yang mau beli telor rusak begini?!"
"Adalah .." jawab sang Mama sambil tetap memilih-milih telor dan memasukkannya ke dalam kantung plastik.
"Bukannya kuman bisa masuk?"
Sang ibu tidak menjawab. Sang Anak tetap terbengong-bengong.
Saya sebenarnya terusik dan tergerak untuk bisa bercakap-cakap dengannya soal telor rusak itu. Tapi saya menahan diri. Anak itu barangkali masih terlalu muda untuk memahami bahwa di negeri ini, tingkat toleransi sedemikian tinggi, sehingga kadang kebablasen. Telur rusak yang seharusnya dibuang --sesuai standar kualitas produk makanan-- masih juga dibungkus manis dan dijual! Tidak apa-apa kok, isinya masih bagus, cuma kulitnya aja yang retak-retak, begitu barangkali manajer supermarket itu berkilah.
Mentalitas toleransi negatif seperti ini yang sayangnya justru bertumbuh subur di negeri ini. Terlebih kata-kata "Sayang kan, masih bisa dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkanya ... " justru memberikan konformitas yang manjur. Beda antara toleransi negatif atau sikap permisive dengan spirit untuk "membantu" mereka yang membutuhkan menjadi kabur. Bukankah produk keramik reject (cacat produksi) juga masih dijual dengan istilah KW2? Bukankan produk garmen yang sama juga dijual dengan label keren "sisa export"? Dalam hal dua kasus ini, kita tidak melihat dengan jelas, apakah original spirit dari si pengusaha adalah: (1) untuk membantu masyarakat menengah ke bawah; atau (2) justru merupakan bussiness opportunity bagi pengusahanya untuk menekan kerugian. Sayangnya masyarakat juga sudah terlanjur menerima situasi-situasi semacam ini. Karena butuh atau memang perwujudan toleransi cuek bebek?
Bersikap toleran atas sesuatu yang baik itu harus. Toleran terhadap hal yang negaitf, jangan. Toleran bukan berarti permisive. Mentalitas permisif sedikit demi sedikit akan menghancurkan kita bersama.
Selamat pagi, selamat bekerja and have a nice weekend n