Google Groups Untuk berlangganan 'lightbreakfast', silahkan masukkan alamat email Anda dan klik tombol 'Berlangganan' sekarang!
Email:
Browse Archives at groups.google.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Cemilan: Peradaban


KONTRASNYA PERADABAN: Sayang saya lupa siapa mengirim foto ini. Tetapi foto menarik ini saya simpan di hard-disk melalui save attacment email. Ketika melihatnya kembali, terlintas dalam benak: hmhh ... betapa peradaban ini berkembang luarbiasa. Foto di atas bertutur banyak. Peradaban batu versus kecanggihan tehnologi. Pertanyaan saya selanjutnya --dan juga mungkin pertanyaan Anda semua. Apakah kemajuan peradaban ini lalu otomatis membuat kita semakin beradab? Atau kah justru kemajuan peradaban - tehnologi membuat manusia semakin jauh dari peradabannya? n LAINNYA

Mandiri

"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu; Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri; Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu; Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu ... " - Khalil Gibran

Saya agak terganggu dengan perilaku seorang ibu yang duduk di sebelah kanan saya. Dari sudut mata, terlihat ibu ini selalu memperhatikan apa yang saya kerjakan. Entah apa yang ada dalam benak dia atau bahkan yang dimaui. Dalam hati saya berharap penerbangan saya dengan SQ38 dari Singapore ke Los Angeles ini bisa jalani dengan tenang. Bukan apa-apa, waktu tempuh 16-17 jam harus bisa saya manfaatkan secara maksimal termasuk waktu untuk istirahat, mengingat pekerjaan di depan menumpuk.

Tetapi perasaan saya berubah ketika tahu Ibu Lina -- demikian ia meminta saya memanggilnya-- ternyata berasal dari Indonesia. Semula saya tidak menyangka ibu yang tidak bisa berbahasa Inggris itu berasal dari Samarinda. Ia lebih banyak berbicara dalam Bahasa Mandarin kepada pramugari. Baru ketika ibu ini mengeluarkan buku berbahasa Indonesia terbitan sebuah penerbit besar di Jakarta, saya memberanikan diri untuk mengulurkan tangan memperkenalkan diri.
"Ibu dari Indonesia?"
"Ya, saya dari Samarinda." jawabnya sambil tersenyum lebar.
"Ibu sendirian?"
"Iya, mau menengok anak saya," katanya sambil menyebut kota kecil berjarak 1 jam perjalanan mobil dari Los Angeles, "Anak saya mau melahirkan."
"Oh, cucu pertama?"
"Iya"
"Dari anak pertama?"
"Kebetulan anak saya cuma satu, laki-laki."

Pantesan ia selalu memperhatikan saya, barangkali saya mirip dengan anak laki-laki satu-satunya, atau paling tidak usianya sama. Ge-er boleh kan?

Selanjutnya kami berbincang-bincang panjang selama perjalanan sebelum kami terlelap. Ia banyak bercerita mengenai perjuangan hidupnya. Suaminya yang kontraktor rumahan meninggal beberapa tahun yang lalu tanpa sempat melakukan transisi pengelolaan usahanya, sehingga praktis, usahaannya mati bersamaan dengan meninggalnya sang suami. Anak satu-satunya yang bersekolah di Singapore kemudian mendalami Arsitek di Amerika lebih suka memilih bekerja dan menetap di sana. Bahkan keponakan yang semula ia sponsori sekolah tehnik sipil juga tidak tertarik menjalankan usaha suaminya. Jadilah ia sendirian di Samarinda dan menekuni bidang multilevel marketing. "Saya sendirian tetapi meskipun begitu saya tidak merasa kesepian ... Saya bahagia karena anak saya dan orang-orang yang pernah saya bimbing sekarang sudah punya pekerjaan yang baik atau usaha sendiri yang mapan." katanya renyah.

Ketika kemudian tahu bahwa saya mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil, Ia menasehati saya --dengan gaya tutur seorang ibu kepada anaknya tentunya-- bahwa tugas orangtua hanyalah mengantarkan anak-anaknya untuk bisa menjadi manusia yang mandiri. Membimbing mereka dan mengarahkan mereka, bukan memaksa mereka untuk melakukan apa yang kita mau, apalagi menyangkut kehidupan mereka sendiri kelak.

"Ajari mereka cuci baju sendiri, cuci piring, menyapu dan membersihkan tempat tidur sendri ... Supaya mereka tahu kehidupan nyata yang dihadapinya!" tegasnya sambil memberikan contah salah satu anak relasinya yang sudah berusia SMA tetapi masih dibantu untuk menyiapkan dan memakai baju seragamnya.

Sebelum kami kemudian tertidur, Ibu Lina membuka tas tangannya, mencari-cari sesuatu di balik selipan beberapa buku yang ia bawa kemudian memberikan ke saya selembar kertas sambil berkata, "Ambil ini dan baca Dik!" katanya. Saya menerima kertas itu sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Rupanya sebuah copy dari teks puisi terkenal Khalil Gibran yang saya rasa kita pernah membacanya. "Anak" dalam "Cinta, Kehidupan, Kesunyian". Demikian teks lengkapnya:

"Dan seorang perempuan yang menggendong bayi dalam dakapan dadanya berkata, Bicaralah pada kami perihal Anak.
Dan dia berkata:

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu


Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmu
Kerana mereka memiliki fikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Kerana jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi


Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan cuba menjadikan mereka sepertimu
Kerana hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan


Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan." -
Khalil Gibran.

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Cemilan: Serong


PERLAKUAN KHUSUS KAUM PESERONG: Iseng, saya ambil foto ini di depan Supermarket Hero, Bogor, bulan Desember tahun lalu. Terangsang pikiran jenaka saya untuk menghubungkannya dengan berita seputar perselingkuhan para artis dan pejabat negara. Lah, emang di negara ini perbuatan "serong" menjadi semacam tanaman langka yang harus dilindungi. Buktinya? Lihatlah foto ini. Bahkan bagi mereka yang mau serong pun dibuatkan tempat parkir khusus! Bukan main. Lazimnya, tempat parkir khusus kan disediakan bagi manula atau penderita cacat! Tetapi yang ini? Alamak. Opo tumon. Tentu ini cuma iseng, jangan ditanggapi terlalu serius. Sekedar cemilan sampingan di pagi hari. Selamat berkarya n LAINNYA

Tulisan terbaru lightbreakfast juga bisa Anda dapatkan melalui layanan email langsung dengan cara subscribe melalui panel Google Group yang tersedia di bagian bawah halaman ini.
© 2006, 2007 Setya Rahadi. Lightbreakfast, adalah catatan perenungan pribadi dengan pesan-pesan singkat, universal dan konstruktif untuk teman minum kopi di pagi hari. Layaknya fast-food, silahkan menyantapnya di tempat atau mengunduh - take away isi blog ini sesuka Anda. Cantumkan sumber apabila Anda mengutip dan mengirimkan ke pihak lain. Kisah-kisah yang dituliskan dalam lighbreakfast diilhami oleh penggalan kisah nyata sehari-hari, dengan penyesuaian seperlunya. Kadang nama tempat atau nama orang ditulis apa adanya, tetapi dalam banyak hal, untuk kepentingan privacy, nama tempat atau nama orang tidak disebutkan secara gamblang. Nama samaran banyak dipakai demi enaknya cerita. Mohon maaf untuk kesamaan tokoh, tempat dan cerita yang mungkin terjadi.