Google Groups Untuk berlangganan 'lightbreakfast', silahkan masukkan alamat email Anda dan klik tombol 'Berlangganan' sekarang!
Email:
Browse Archives at groups.google.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Keder

"Lihat bolanya, bukan siapa yang menendangnya." - Asa

Anak perempuan saya, entah kenapa menyukai olahraga sepakbola. Ia tak pernah kehilangan semangat untuk cerita soal tim sepakbola-nya di sekolah (jangan dibayangkan seperti klub bola sungguhan, karena yang ia ceritakan adalah permainan mereka sewaktu istirahat sekolah). Apa yang ia sampaikan tak kalah dengan ulasan komentator profesional di televisi. Cara ia menganalisa kekuatan dan kelemahan lawan, bagaimana menyusun komposisi dan strategi menyerang berdasarkan kekuatan tim yang ia miliki, benar-benar yak-yako. Hebatnya, tim yang ia pimpin mayoritas cowok.

"Hari ini Asa menang tiga kosong melawan tim Aldo, Pa!" katanya suatu ketika dengan pakaian basah penuh keringat, rambut acak-acakan dan tali sepatu terburai nggak karuan.
"Oh ya? Hebat dong."
"Tahu nggak kenapa Pa? Asa tahu sekarang kelemahan Kristin ..." anak yang disebut Asa ini cewek tetapi mempunyai tubuh yang bongsor. Sebelumnya ia pernah cerita tentang anak itu, bahwa banyak teman-teman satu timnya, cowok maupun cewek, yang kesulitan menghadang dan mengimbangi permainannya.
"Ternyata, kekuatannya ada di kaki kirinya! Makanya kalau dia menyerang selalu dari sisi kiri. Asa bilang sama anak-anak supaya diusahakan bola digiring di sisi kanan dia ... berhasil. Tak berkutik dia, nggak pernah bikin gol!"
"Oh ya?"
"Terus ada lagi Pa."
"Apa itu?"
"Marco, kiper Asa, kali ini mengalami kemajuan pesat."
"Emang kenapa?" saya berusaha meladeni omongannya, meski kadang-kadang merasa geli memperhatikan tingkahnya.
"Dia itu sangat takut sama tendangan Aldo."
"Emang kenapa tendangan Aldo?"
"Dia itu super Pa! kalau menendang ... keras buanget Pa!"
"Kiper kan nggak boleh takut bola?"
"Itu dia Pa!"
"Jadi apa yang kamu lakukan?"
"Asa kasih tahu dia, supaya konsetrasi. Yang penting lihat bolanya, bukan siapa yang menendangnya ... buktinya, dia berhasil tidak kebobolan ..."
"Hm, hebat juga kamu!" dalam hati saya mencatat kata-katanya.

Di luar permainan bola, dalam praktek kehidupan sehari-hari, apa yang Asa katakan itu sangat relevan. Seringkali kita merasa keder, minder atau takut untuk memulai sesuatu karena kita sebenarnya risau terhadap 'siapa' yang akan kita hadapi, bukan fokus kepada persoalan atau masalah itu sendiri. Kita terlalu khawatir terhadap banyak hal sehingga justru kehilangan energi untuk mengerti dan memahami masalah, apalagi lalu menemukan solusi yang tepat. Oleh sebab itu jangan terlalu risau terhadap 'siapa' yang kita hadapi, tetapi fokuslah terhadap apa yang kita kerjakan. Lihat bolanya, bukan siapa yang menendangnya, kata Asa.

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Kepala

"Seperti kata 'Head' dan 'Lead' dibedakan satu karakter awalnya, untuk bisa memimpin (to lead) juga dibutuhkan 'karakter' awal yang berbeda daripada sekedar mengepalai (to head)."

Di tengah Pasar Benhil ada 'foodcourts', yang antara lain menjual masakan Padang. Ketika saya berkantor di daerah itu beberapa tahun lalu, salah satu menu favorit saya adalah Gulai Kepala Ikan. Sampai sekarang saya masih sering terngiang-ngiang cita-rasanya. Mmm, sedap. Biasanya saya kesana kalau memang punya waktu longgar, tidak ada meeting atau agenda lain selepas makan siang, sehingga saya bisa santai, penuh kesabaran dan ketelitian menikmati kepala ikan itu. Sudut demi sudut.

Entah kenapa makan kepala ikan membawa sensasi tersendiri bagi saya. Termasuk pecel lele. Yang saya sukai adalah ukuran lele yang tidak terlalu besar dan digoreng kering. Kepalanya akan terasa chrispy dan gurih di langit-langit mulut. Apalagi kalau sambelnya cocok.

Ayah saya juga penggemar kepala. Segala jenis kepala. Mulai dari kepala ayam sampai kepala kambing. Yang saya ingat, bila ibu menggoreng ayam, ayah sering mendorong kami untuk makan kepalanya. "Jupuken endhase, cik ben dadi pemimpin!" kata beliau meyakinkan. Ambil dan makan kepalanya supaya jadi pemimpin, begitu kira-kira. Entah ada hubungannya dengan kegemaran beliau makan kepala atau tidak, ayah saya memang mengakhiri karir profesionalnya sebagai kepala inspeksi guru di sebuah kabupaten di Yogyakarta.

Bicara soal kepala dalam budaya Jawa, berarti bicara soal status sosial. Setidaknya yang saya pahami selama ini. Menjadi kepala, menduduki jabatan pangreh praja, berarti menjadi 'priyayi' sebuah sebutan kelompok masyarakat berkelas dalam budaya Jawa. "Gedhe dadi priyayi!" memang menjadi kudangan (timangan) umum orangtua kepada anak-anaknya. Saya ingat, apabila kami berkunjung ke leluhur, simbah, eyang, buyut di hari Lebaran selalu kata-kata harapan "Dadi priyayi ya Le!", jadilah priyayi begitu kurang lebih, tak henti-hentinya kami terima.

Tetapi pemaknaan saya terhadap "menjadi priyayi", menjadi kepala, menjadi pejabat, sekarang ini berbeda dengan apa yang saya pahami semasa saya kecil. Menjadi "priyayi" menjadi pejabat, bukanlah keistimewaan bagi saya, karena semua orang ternyata bisa menjadi pejabat, bisa menjadi kepala, bisa menjadi "priyayi". Tetapi tidak semua pejabat itu sesungguhnya bisa menjadi pemimpin (leader). Ada karakter khusus yang diperlukan bagi seseorang untuk bisa memimpin, seperti kata Lead (memimpin) dalam Bahasa Inggris yang mempunyai karakter awal yang sangat berbeda dengan kata Head (mengepalai). Nah, menduduki jabatan tertentu sah-sah saja, tetapi yang lebih penting adalah: apakah kita sudah menjadi seorang pemimpin (yang baik)? merupakan pertanyaan reflektif yang justru mendasar dan perlu kita selalu ingat.

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Guyon

"Tertawa adalah hak bebas setiap orang, tetapi tidak semua hal bebas ditertawakan."

Beberapa hari setelah pesawat Adam Air dinyatakan hilang dan simpang siur pemberitaan mengenai diketemukannya pesawat itu, beberapa SMS dengan isi hampir sama datang ke handphone saya. Beberapa diataranya berbunyi, "Cepetan nonton … (sebuah stasiun televisi), adam air sdh ditemukan: 88 org meninggal, 2 org kritis, 1 org kena tipu baca sms ini ;-)" .

Alamak! Tega-teganya membuat joke untuk sebuah peristiwa yang kita sama-sama tahu tidak layak tayang dijadikan guyonan. Terus terang saya berkeberatan dengan sms ini, meskipun saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia yang masih memiliki empati terhadap keluarga korban. Coba Anda bayangkan bagaimana apabila sms berantai ini tersebar dan isteri, suami atau pihak keluarga yang menjadi korban pesawat itu menerima pesan pendek ini. Oleh sebab itu saya menggunakan hak jawab saya dengan mengirimkan balasan ke si pengirim, memperingatkan untuk tidak melakukan itu.

Kita memang memahami budaya guyon, plesetan sudah menjadi bagian hidup dari sebuah komunitas sosial. Ia menjadi sebuah pelengkap interaksi, ia menjadi pencair ketegangan, bahkan joke (lawak) menjadi sebuah industri yang luar biasa menjanjikan. Jaman dulu ada Srimulat, sekarang ada Extravaganza dan bahkan acara talkshow pun tak lepas dari invasi guyon ini, tengoklah acara News.Com atau Empat Mata-nya Thukul Arwana yang konon kebanjiran iklan karena rating-nya melejit itu.

Tetapi, apakah atas nama guyon, atas nama canda, atas nama lelucon, kita bebas melakukan sesuatu? Kita seolah-olah punya "kekebalan diplomatik" untuk lelucon yang kita lakukan, berlindung di balik disclaimer, "Hanya bercanda kok!" , "Just kidding!" , "Tenang Men, serius amat!" dan seterusya. Dengan kata-kata sakti itu seolah candaan itu menjadi sah, tanpa menghiraukan perasaan korban atau bahkan "kerugian" lain yang diderita.

Segala sesuatu ada batasnya, dan yang harus membuat batas itu adalah kita sendiri! Kalau kita tidak membuat batas sendiri, pada suatu saat nanti Anda akan diberi "batas" oleh orang lain. Entah itu berupa teguran, atau Anda mengalami peristiwa tragis. Dari sebuah koran yang saya baca di pesawat, seorang pekerja imigran di Singapore dinyatakan bersalah dan masuk penjara karena telah menngakibatkan kematian rekannya. Kejadiannya sepele, mereka bercanda ketika berenang di pantai, ngerjain salah satu rekannya yang tidak bisa berenang sehingga harus berakhir dengan kematian si korban. Di Yogya beberapa tahun lalu juga terjadi peristiwa tragis ketika dengan bercanda seorang montir bengkel mengarahkan selang kompresor bertekanan tinggi ke pantat rekannya yang kebetulan celananya berlubang. Karena terkejut, si korban secara reflek berdiri mengakibatkan ujung selang terjepit di dubur dan angin bertekanan tinggi itu masuk ke usus. Ia meninggal seketika. Belum lama juga, di Bandara Singapura maskapai penerbangan SilkAir juga harus mengeluarkan seorang pria Australia dari pesawat (hanya) karena ia bercanda menyebutkan kata "bom" beberapa menit sebelum take-off ke Indonesia. "Where do you keep the bomb?" katanya kepada flight-attendant. Paulin nama pria itu kemudian didenda $6,420 sesuai peraturan anti-teroris internasional dalam penerbangan.

Joke membuat hidup ini segar, guyonan membuat hubungan kita cair, bercanda adalah variasi dalam melepas ketegangan. Bercandalah, tetapi Anda harus tahu batas-batasnya.

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Ego

"Pada dasarnya semua masalah bisa diselesaikan. Tetapi seringkali ego kita justru membuatnya menjadi lebih buruk."

Sebuah kendaraan meluncur di keramaian jalan di selatan Jakarta. Kendaraan baru merek terkenal yang masih berusia 2 bulan itu dikemudikan oleh seorang gadis remaja usia SMA. Di samping kiri duduk Sang Ayah dan dibelakang duduk Ibu dan adik lelakinya, Anto yang yang juga sudah menginjak remaja. Rupanya si Remaja putri --sebutlah Upik-- barusan mendapatkan SIM sehingga siang itu ia diijinkan menyetir.

Ketika mereka melewati sebuah lampu merah, tanpa disangka sebuah Angkot nyelonong dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Tabrakan tak terelakkan meskipun dua kendaraan tersebut berdecit tanda rem diinjak mendadak dengan kekuatan penuh. Kepala Upik membentur kaca samping kanan menyebabkan hancurnya kaca mobil baru itu. Ayah Upik naik pintam dan segera meloncat turun menghampiri sopir Angkot yang ugal-ugalan itu. Sudah bisa diduga, mereka terlibat adu mulut, saling gertak karena masing-masing merasa benar. Pertengkaran mereka menyebabkan lalu lintas terhenti dan suara klakson mulai ramai terdengar.

Sementara itu, karena benturan di kepala, Upik jatuh pingsan. Sang Ibu berteriak-teriak kepada suaminya berusaha memberitahu kalau si Upik pingsan. Tetapi Sang Suami terus beradu mulut dengan sopir Angkot itu. Baru berhenti ketika Anto berlari menyusul Sang Ayah dan menarik tangannya. Sempat agak lama, baru setelah Si Ayah berhasil merebut SIM Sopir Angkot itu mereka kembali ke mobil. Sang Ayah kaget melihat si Upik sudah tergeletak pingsan. Buru-buru ia mengangkatnya dan memindahkan kebelakang. Untung, pintu depan masih bisa dibuka sehingga mereka bisa membawa Upik ke Rumah Sakit terdekat tanpa harus mencari kendaraan lain. Perjalanan ke Rumah Sakit agak sulit karena lalu lintas di seputar perempatan itu terlanjur macet.

Upik harus menjalani perawatan serius karena pendarahan di otaknya sempat membeku. Timbul penyesalan Si Ayah karena tidak membawa lebih cepat Upik ke Rumah Sakit. Padahal itu bisa ia lakukan. Tetapi pada saat kejadian, justru yang lebih ia perhatikan adalah kerusakan mobilnya. Ia mati-matian "berjuang" agar si sopir Angkot bertangngungjawab memperbaiki kendaraannya. Ia sadar bahwa itu semua akhirya tak berarti apa-apa. Terbukti sampai beberapa waktu kemudian Sopir Angkot itu tidak nongol, meski SIM sudah ia pegang. Terlebih, sebenarnya kendaraan itu sudah diasuransikan. "Apa sebenarnya yang saya cari? Bukankah keadaaan Upik justru lebih penting daripada kerusakan mobilnya?"

Belajar dari apa yang dialami ayah Upik, semua orang bisa menghadapi peristiwa sama. Alternatif keputusan yang bisa diambil juga sama. Waktu yang disediakan untuk mengambil keputusan pun sebenarnya juga sama. Yang membedakan adalah seberapa besar dan sensitif ego-nya. Karena pada dasarnya semua masalah bisa diselesaikan, tetapi seringkali ego kuta justru membuatnya lebih buruk.

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Budi

"Sesungguhnya tidak ada yang terlalu besar dan terlalu sepele untuk sebuah perbuatan baik."

Pernah nonton film berjudul Pay it Forward, film yang dibintangi oleh Kevin Spacey, Helen Hunt dan Haley Joel Osement? Kalau belum, sempetin deh nonton. Saya tidak tahu apakah di jual DVD-nya sekarang, tapi kalau pun susah mendapatkannya, Anda bisa pergi ke rental untuk pinjam barang semalam untuk ditonton bersama keluarga di rumah. Kalau tidak salah saya juga pernah menyinggung-nyinggung film ini beberapa waktu lalu. Dan saya memang tidak bosan-bosan merekomendasikan film ini sebagai salah satu tontonan keluarga yang paling baik.

Pay it Forward didasarkan novel dengan judul yang sama ditulis oleh Chaterine Ryan Hyde yang juga menulis Funeralas of Horse dan Earthquake Weather. Dari sebuah peristiwa kecelakaan mobil lalu ditulis menjadi sebuah novel, dibuat film dan videonya, dan sekarang sudah menjadi sebuah gerakan dan bahkan yayasan khusus dibentuk.

Apa sih Pay it Forward? Sederhana, novel dan film ini mengajarkan prinsip kepada kita bahwa daripada membayar hutang budi kembali kepada orang yang sudah berbuat baik kepada kita, sebaiknya kita membayarnya dengan melakukan perbuatan baik yang setimpal kepada 3 orang lain di sekitar kita. Demikian pula 3 orang yang sudah menerima bantuan / perbuatan baik kita, masing masing akan melakukannya juga untuk 3 orang lain, sehingga tercapai rantai multiplikasi perbuatan baik yang tak terputus. Dunia akan dipenuhi dengan perbuatan baik pada akhirnya. Bagus bukan?

Kita semua tentu merasa bahagia apabila kita bisa melakukan sesuatu untuk sesama. Sekecil apa pun itu, karena sesungguhnya tidak ada yang terlalu besar atau terlalu sepele untuk perbuatan baik. Ketika saya menuliskan kisah kakek penjual papan cuci kayu di Pondok Indah tahun lalu, banyak sekali respon masuk ke mailbox saya, dari yang sekedar mengiyakan sering melihat si Kakek, sampai yang mempertanyakan "ending" tulisan saya, "Kok cuma titip salam?".
Saya memang tidak melakukan sesuatu untuk si Kakek. Yang saya bisa lakukan menuliskannya, menceriterakannya kepada Anda semua. Hanya itu. Selebihnya, saya percaya akan ada tangan-tangan yang kemudian bekerja melakukan sesuatu. Termasuk barangkali banyak orang yang kemudian membeli papan cuci kayu si Kakek. Kutipan email ini di bawah ini salah satunya. Atas ijinnya yang bersangkutan saya mengcopy-paste dari email yang dikirimkan ke saya:
".... Ketika itu ibu saya punya nazar , apabila dapet rezeki ingin memberikan sebagian kecil kepada kakek dan nenek yang ada di jlan kartika utama ( wkt itu saya tidak memperhatikan ).Akhirnya terlaksana juga nazar tersebut... ketika itu saya diantar ibu saya ke kantor, kebetulan kantor saya di radio dalam, sangat dekat dari rumah.....dan waktu itu memang kakek& nenek tersebut sedang duduk di jalan itu.... Kemudian mobil kami berhenti dan ibu saya memberikan..yaaaahhhh gak banyak lah... mungkin hanya cukup untuk makan mereka selama seminggu saja.....tapi yang penting niat ibu saya ikhlas.

Ibu saya memberikan uangnya kepada kakek tersebut.... tapi si kakek diem saja, yang menghampiri mobil kami hanya si istri.....( sepertinya si kakek buta, kasian ya... ) tapi hari itu ibu saya gembira sekali... Akhirnya niat beliau terlaksana juga...

Dan saya pun berniat seperti itu....dan alhamdullah setelah gajian awal bulan juli
ini bisa juga memberikan hanya sebagian kecil untuk kakek & nenek ....


Sekali lagi, tidak ada yang terlalu besar atau terlalu sepele untuk sebuah perbuatan baik. Just do it. Lakukan. Anda tidak perlu berpikir panjang untuk melakukan sesuatu yang baik. Terlebih perbuatan baik Anda itu tidak sekedar balas budi kepada orang yang telah berbuat baik kepada Anda. Karena mereka barangkali tidak memerlukannya ... saya percaya banyak orang lain justru yang membutuhkan bantuan Anda. Pay it forward!

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Keluarga

"Ada berbagai jenis tanggungjawab, demikian pula bobotnya. Ketika Anda memutuskan untuk menikah dan membina keluarga, Anda telah mengambil tanggungjawab terbesar dalam hidup."

Menjelang berakhirnya liburan sekolah awal tahun ini, seorang ibu menemukan secarik kertas penuh dengan coret-coretan limpahan emosi di meja belajar anak perempuannya. Sesuatu yang sedikit mengejutkan tetapi juga mengharukan ia baca dari tulisan tangan anak kelas 3 SD itu.

Ia menunjukkan coretan itu ke suaminya sepulang kantor. Sang suami tertegun, " ... hari ini ... papa pergi ke kantor tapi nggak bilang-bilang sama aku, kemarin papa nggak bilang apa-apa ke aku, nggak bilang cutinya habis, ada con-call, ada rapat dan lain-lain (gambar muka sedih). Kemarin papa cuma bilang nyerahin foto ke kantor imigrasi terus langsung pulang (gambar muka sedih lagi), hiks hiks hiks ... Dani (adiknya) untungnya udah agak baikan, tapi sakit giginya mama terus berlanjut (gambar muka sedih lagi) ..." Seterusnya, gambar-gambar yang ia coretkan menunjukkan betapa sisa liburannya terasa sepi baginya.

Suami-isteri itu saling berpandangan, seolah tak percaya bahwa situasi dan kata-kata klise yang biasa menjadi tema sinetron dan pembahasan para psikolog itu --kerinduan seorang anak atas kehadiran dan kehangatan perhatian anak dari kedua orangtuanya-- benar-benar terjadi, justru di tengah-tengah keluarganya. Setidaknya terlihat dari coretan lepas tulisan tangan anak perempuan mereka.

Kehidupan metropolitan Jakarta (lagi-lagi saya harus menuliskan pernyataan yang sudah umum ini) memang tidak ideal bagi kehidupan anak-anak. Orantua yang rata-rata "angkatan 59" (berangkat jam 5 pagi dan pulang ke rumah jam 9 malam) tidak mempunyai kualitas kontak emosi yang cukup dengan anak-anak mereka. Kerap ini dituding sebagai sumber bencana bagi kehidupan anak-anak, entah perilaku kenakalan, persoalan NARKOBA dan seks bebas. Suami-iseteri itu tersadar, apa yang mereka baca dari majalah, koran dan juga digambarkan secara membabi-buta oleh sinetron-sinetron memang benar adanya. Setidaknya anak permpuan mereka telah menyatakannya ...

Hari ini, Senin, ketika Anda mulai membuka komputer Anda di kantor, seperti biasa Anda akan segera menghadapi banyak hal yang mungkin akan menyita energi dan waktu Anda. Sebagai orang yang sudah diberikan tanggungjawab, Anda harus mengerjakan tugas pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya. Dengan upaya yang maksimal. Tetapi ijinkan saya mengingatkan, bahwa di luar pekerjaan di kantor, Anda juga mempunyai tanggungjawab yang tidak kalah penting. Terutama bagi Anda yang sudah menikah, Anda mempunyai tugas istimewa yang Anda emban: menjalankan kehidupan keluarga yang sudah Anda mulai. Suami atau isteri serta anak-anak Anda di rumah selalu merindukan kehadiran dan kehangatan kasih Anda. Dan harap dicatat, Anda justru harus mempertanggungjawabkan tugas-tugas dalam keluarga ini kepada "boss dari segala boss", Dia yang selama ini telah memerikan kesempatan begitu besar kepada kita. Bukankah ini sebuah tanggungjawab yang luar biasa?

Selamat pagi dan selamat n

Perangai

"Sama halnya character dalam sistem alpabet yang baru mempunyai arti jika dikombinasikan menjadi kata-kata dan kalimat, untuk menjadi pribadi yang efektif pun Anda harus mengelola character Anda."

Arief namanya. Tetapi tingkahnya tak searif namanya. Ia adalah (pewaris) pengusaha kaya raya yang masih menganggap uang dapat membeli segala-galanya. Ia masih muda tetapi terkenal mempunyai perangai yang sangat buruk. Bahkan ketika ia sudah menikah dan punya 2 anak. Entah berapa pembantu, sopir dan pegawai yang ia pecat. Bahkan isteri dan anak-anaknya pun lebih berbahagia kalau ia tidak berada di rumah.

Maka, jangan coba-coba membuat masalah dengannya. Sekecil apa pun itu. Salah bicara, tidak menepati janji, apalagi mengotori atau merusakkan barangnya. Bisa-bisa Anda digetok dengan gagang pistol (harap maklum, sebagai pengusaha ia mendapatkan ijin khusus kepemilikan senjata bela diri). Pegawai bank, restoran, bengkel dan tukang yang sering berhubungan dengannya sudah hapal betul dengan perangai bapak satu ini. Maka mereka sangat hati-hati dalam melayaninya. Meski setelah itu mereka akan cekikikan menirukan tingkahnya.

Suatu ketika ia marah-marah sejak pagi. Tidak jelas apa yang menjadi penyebabnya, tetapi kemarahan itu terus berlanjut saat ia sudah naik mobil menuju ke kantornya. Pak Ahmad, 60, sopir yang baru 2 bulan bekerja menggantikan sopir sebelunya pun tak luput kena damprat. Hanya karena jalan terlalu lambat (padahal sih biasa-biasa saja) kata-kata kebun binatang meluncur tak bisa dibendung. Mobil mewah seri 7 itu jadi tak senikmat kemewahan features-nya. Bahkan instrumental gitar Francis Goya yang berdenting lembut lewat sound-system standar kendaraan mewah itu terasa panas. Bak neraka berjalan. Tetapi Pak Ahmad, sang sopir, tetap berusaha tenang. "Pantas, sopir-sopir sebelumnya banyak yang tidak kerasan." ucapnya dalam hati. Ia sadar, ia hanya menjadi pelampiasan karena ia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.
"Cepat! @$#%$@!! Terus jangan berhenti! Ambil kanan!!" teriak Arief, selalu memerintahkan Pak Ahmad mendahului kendaraan lain dan bahkan menerobos lampu merah.
"Hey saya bilang terus, #$%^$#%$#!! Kenapa berhenti??? Masih kuning itu! Terus!! Dasar %^$#%^$#^%!!!" Hebatnya, meski hardikan, makian dan kata-kata kotor terus meluncur, Pak Ahmad tidak terpancing emosinya. Ia tetap melambatkan kendaraan dan berhenti di setiap lampu merah. Ia tak peduli dengan perintah-perintah tak lazim majikannya itu, karena ia tahu itu melanggar aturan lalu-lintas dan membahayakan orang lain serta mereka sendiri.

Tentu, tindakannya itu membuat Arief semakin naik pintam, "$@#$@%$!! Sesampai di kantor kamu pulang dan jangan bekerja lagi besok!" Tentu perkataan tuannya ini tak diduga sama sekali oleh Pak Ahmad. Bak petir di pagi bolong, Pak Ahmad serta merta meminggirkan kendaraan di tengah keramaian lalu lintas Jakarta.
"Baik," katanya sopan setelah menghentikan kendaraan. Sambil menengok kebelakang ia berkata, "Bapak ini sudah tua Nak Arief, yang Bapak punyai hanya niat untuk bekerja sebaik mungkin. Kalau Nak Arief tidak cocok dengan Bapak, tidak usah sampai kantor. Silahkan Nak Arief mengambil alih kemudi sekarang. Bapak mau pulang."

Arief terperanjat setengah mati mendapatkan reaksi seperti itu dari sopir barunya. Seumur-umur baru kali ini ia punya sopir yang "berani" dan bahkan memanggilnya "Nak Arief". Belum hilang rasa kagetnya, Pak Ahmad kembali menimpali, "Jangan diteruskan kebiasaan Nak Arief seperti ini, Bapak cuma takut kalau nanti sedang membawa Ibu dan anak-anak, Bapak terbiasa menerobos lampu merah ... bisa membahayakan jiwa mereka. Silahkan, Bapak mau pulang sekarang." katanya sambil menyerahkan kunci mobil ke Arief.

Entah karena gengsi, Arief tidak menanggapi omongan Pak Ahmad. Ia merenggut kunci mobil dari tangan Pak Ahmad, bergegas pindah ke depan dan segera tancap gas meninggalkan Pak Ahmad yang masih berdiri di pinggir jalan dengan tatapan mata prihatin.

Hanya sampai di sini cerita yang saya dapat, tetapi yang sungguh-sungguh saya catat adalah bahwa kita semua mengenal Arief-Arief lain di sekeliling kita. Ia mewakili orang-orang di planet ini yang menyerahkan dirinya untuk dikemudikan oleh peranginya sendiri. Ia terlalu self-centric, sangat fokus terhadap dirinya sendiri, tidak cakap untuk memainkan kecenderungan karakter dasarnya terhadap lingkungan yang dihadapi. Orang macam ini bagaikan orang yang senantiasa salah kostum di setiap kesempatan yang ia hadiri. Padahal untuk menjadi pribadi yang efektif, kita harus pintar-pintar mengelola kecenderungan dasar, character kita. Bukankah begitu?

Selamat pagi dan selamat bekerja n

Tulisan terbaru lightbreakfast juga bisa Anda dapatkan melalui layanan email langsung dengan cara subscribe melalui panel Google Group yang tersedia di bagian bawah halaman ini.
© 2006, 2007 Setya Rahadi. Lightbreakfast, adalah catatan perenungan pribadi dengan pesan-pesan singkat, universal dan konstruktif untuk teman minum kopi di pagi hari. Layaknya fast-food, silahkan menyantapnya di tempat atau mengunduh - take away isi blog ini sesuka Anda. Cantumkan sumber apabila Anda mengutip dan mengirimkan ke pihak lain. Kisah-kisah yang dituliskan dalam lighbreakfast diilhami oleh penggalan kisah nyata sehari-hari, dengan penyesuaian seperlunya. Kadang nama tempat atau nama orang ditulis apa adanya, tetapi dalam banyak hal, untuk kepentingan privacy, nama tempat atau nama orang tidak disebutkan secara gamblang. Nama samaran banyak dipakai demi enaknya cerita. Mohon maaf untuk kesamaan tokoh, tempat dan cerita yang mungkin terjadi.