"Ada berbagai jenis tanggungjawab, demikian pula bobotnya. Ketika Anda memutuskan untuk menikah dan membina keluarga, Anda telah mengambil tanggungjawab terbesar dalam hidup."
Menjelang berakhirnya liburan sekolah awal tahun ini, seorang ibu menemukan secarik kertas penuh dengan coret-coretan limpahan emosi di meja belajar anak perempuannya. Sesuatu yang sedikit mengejutkan tetapi juga mengharukan ia baca dari tulisan tangan anak kelas 3 SD itu.
Ia menunjukkan coretan itu ke suaminya sepulang kantor. Sang suami tertegun, " ... hari ini ... papa pergi ke kantor tapi nggak bilang-bilang sama aku, kemarin papa nggak bilang apa-apa ke aku, nggak bilang cutinya habis, ada con-call, ada rapat dan lain-lain (gambar muka sedih). Kemarin papa cuma bilang nyerahin foto ke kantor imigrasi terus langsung pulang (gambar muka sedih lagi), hiks hiks hiks ... Dani (adiknya) untungnya udah agak baikan, tapi sakit giginya mama terus berlanjut (gambar muka sedih lagi) ..." Seterusnya, gambar-gambar yang ia coretkan menunjukkan betapa sisa liburannya terasa sepi baginya.
Suami-isteri itu saling berpandangan, seolah tak percaya bahwa situasi dan kata-kata klise yang biasa menjadi tema sinetron dan pembahasan para psikolog itu --kerinduan seorang anak atas kehadiran dan kehangatan perhatian anak dari kedua orangtuanya-- benar-benar terjadi, justru di tengah-tengah keluarganya. Setidaknya terlihat dari coretan lepas tulisan tangan anak perempuan mereka.
Ia menunjukkan coretan itu ke suaminya sepulang kantor. Sang suami tertegun, " ... hari ini ... papa pergi ke kantor tapi nggak bilang-bilang sama aku, kemarin papa nggak bilang apa-apa ke aku, nggak bilang cutinya habis, ada con-call, ada rapat dan lain-lain (gambar muka sedih). Kemarin papa cuma bilang nyerahin foto ke kantor imigrasi terus langsung pulang (gambar muka sedih lagi), hiks hiks hiks ... Dani (adiknya) untungnya udah agak baikan, tapi sakit giginya mama terus berlanjut (gambar muka sedih lagi) ..." Seterusnya, gambar-gambar yang ia coretkan menunjukkan betapa sisa liburannya terasa sepi baginya.
Suami-isteri itu saling berpandangan, seolah tak percaya bahwa situasi dan kata-kata klise yang biasa menjadi tema sinetron dan pembahasan para psikolog itu --kerinduan seorang anak atas kehadiran dan kehangatan perhatian anak dari kedua orangtuanya-- benar-benar terjadi, justru di tengah-tengah keluarganya. Setidaknya terlihat dari coretan lepas tulisan tangan anak perempuan mereka.
Kehidupan metropolitan Jakarta (lagi-lagi saya harus menuliskan pernyataan yang sudah umum ini) memang tidak ideal bagi kehidupan anak-anak. Orantua yang rata-rata "angkatan 59" (berangkat jam 5 pagi dan pulang ke rumah jam 9 malam) tidak mempunyai kualitas kontak emosi yang cukup dengan anak-anak mereka. Kerap ini dituding sebagai sumber bencana bagi kehidupan anak-anak, entah perilaku kenakalan, persoalan NARKOBA dan seks bebas. Suami-iseteri itu tersadar, apa yang mereka baca dari majalah, koran dan juga digambarkan secara membabi-buta oleh sinetron-sinetron memang benar adanya. Setidaknya anak permpuan mereka telah menyatakannya ...
Hari ini, Senin, ketika Anda mulai membuka komputer Anda di kantor, seperti biasa Anda akan segera menghadapi banyak hal yang mungkin akan menyita energi dan waktu Anda. Sebagai orang yang sudah diberikan tanggungjawab, Anda harus mengerjakan tugas pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya. Dengan upaya yang maksimal. Tetapi ijinkan saya mengingatkan, bahwa di luar pekerjaan di kantor, Anda juga mempunyai tanggungjawab yang tidak kalah penting. Terutama bagi Anda yang sudah menikah, Anda mempunyai tugas istimewa yang Anda emban: menjalankan kehidupan keluarga yang sudah Anda mulai. Suami atau isteri serta anak-anak Anda di rumah selalu merindukan kehadiran dan kehangatan kasih Anda. Dan harap dicatat, Anda justru harus mempertanggungjawabkan tugas-tugas dalam keluarga ini kepada "boss dari segala boss", Dia yang selama ini telah memerikan kesempatan begitu besar kepada kita. Bukankah ini sebuah tanggungjawab yang luar biasa?
Selamat pagi dan selamat n