Di perempatan lampu merah Pondok Indah, hari Rabu pagi, 22 Nevember 2006, pukul 6:28 WIB, Suzuki Minibus APV berwarna biru merangsek pelan di depan mobil kami. Berhenti karena lampu merah menyala. Mendadak kaca pintu samping kanan pelan terbuka dan dari balik kaca muncul plastik bekas bungkus makanan dilempar keluar oleh penumpang di dalamnya. Astaga! Secara reflek saya membunyikan klakson dua kali, memprotes tindakan penumpang APV yang membuang sampah sembarangan itu. Isteri dan anak saya pun tak kurang kagetnya. Maklum, kami semua memang termasuk orang yang tak pernah bisa rela melihat orang membuang sampah sembarangan.
Belum lagi hilang kekagetan kami, mendadak muncul sebuah tangan dari balik kaca jendela mobil itu, mengacungkan jari telunjuk tengahnya ke arah kami. Astaganaga! Kekagetan kami berlipat ganda. Saya dan isteri berpandangan dengan ekspresi muka amit-amit jabang bayi! Makhluk apakah gerangan yang ada di dalam mobil Suzuki APV itu? Kalau pun manusia, bagaimana mungkin ia bisa melakukan itu? Membuang sampah dari atas kendaraan seenaknya?Kemudian justru tega mengacungkan telunjuk jari tengahnya ke atas, ketika kami peringatkan? Waduh, sudah sedemikian parahnya sikap mental manusia Jakarta ini ...
Kami tidak bisa melihat wajah manusia-manusia di dalam kendaraan itu. Bahkan ketika kami menyalipnya. Kaca terlalu gelap untuk bisa melihat ke dalam kendaraan. Tetapi kalau melihat ukuran tanggannya, kami menduga tangan itu bukan milik orang dewasa. Jadi saya pribadi ada sedikit perasaan maklum karena yang melakukannya mungkin anak-anak. Namun demikian isteri saya bersikap berbeda. Justru karena dia masih anak-anak, etiket sepele membuang sampah harus diajarkan oleh orangtuanya dengan benar. Siapa orangtua anak itu? Orangtua macam apa yang memperbolehkan anak (at least tidak pernah melarang atau wanti-wanti kepada anak-anaknya) membuang sampah sembarangan? Apakah mereka tidak mampu beli kotak sampah untuk mobil mereka? Mereka toh bukan dari kalangan yang tidak berpendidikan? Paling tidak dari ukuran kendaraan yang dipakai ... isteri saya terus mempertanyakannya. Sebenarnya siap enggak sih mereka jadi orangtua?
Pertanyaan terakhir isteri itu yang menggelitik pemikiran saya. "Siapkah mereka menjadi orangtua?" merupakan pertanyaan sangat relevan dipertanyakan kepada pasangan-pasangan muda sekarang. Meskipun bisa diduga kebanyakan jawabannya, "Siap!" kenyataannya, dalam hal-hal sepele (seperti soal kedidisiplinan membuang sampah anak-anak kita) menunjukkan ketidaksiapan kita menjadi orangtua. Kita gagal menjadi orangtua karena tidak bisa mentransformasikan nilai-nilai etika standar yang paling universal ke anak-anak.
Oleh sebab itu, bagi pasanngan muda yang hendak menikah, saya ingatkan bahwa menjadi "orangtua" itu berbeda dengan hanya sekedar menjadi "orang tua". Kita semua akan menjadi "orang tua" baik nantinya, tetapi tidak semua dari kita bisa menjadi "orangtua" yang baik. Bukankah ketika kita menikah kebanyakan dari kita memang belum pernah punya pengalaman menjadi orangtua? Kebanyakan pasangan muda sekarang put much effort untuk hal-hal seremonial belaka dan justru lupa bahwa pernikahan dan being a parent membutuhkan tanggungjawab besar.
Selamat pagi dan selamat bekerja n