Alkisah, di sebuah kota terdapat warung makan yang terkenal dengan kelezatan makanannya. Bau masakan yang harum menyebar di sekitar warung, menyebabkan orang yang lewat sekitar warung makan itu tergerak untuk mampir. Namun demikian, pemilik warung makan itu dikenal sangat perhitungan. Jangankan mendapatkan air teh gratis, air putih pun harus bayar.
Suatu ketika, datanglah anak muda dan memesan satu piring nasi putih. "Hanya nasi putih? Tidak kah kau ingin mencicipi masakanku yang terkenal lezat?" tanya pemilik warung.
"Tidak, terimakasih. Engkau memang juru masak hebat, sehingga aku tidak perlu memesan lauk pauk, karena bau masakanmu cukup membuat nasi putih ini terasa lezat." kata anak muda itu.
"Jadi engkau hanya makan nasi putih dengan lauk bau masakanku?!" tanya pemilik warung makan itu tidak senang. "Kalau begitu, untuk bau yang engkau hirup, engkau harus membayar seperempat harga masakanku!"
"Ha?!" anak muda itu sejenak terbelalak kaget, tetapi ia segera menyadari bahwa seperti kata banyak orang, pemilik warung itu memang serakah. Dengan tenang ia kemudian berkata, "Baiklah, nanti akan aku bayar."
Pemilik warung tersenyum puas. "Hebat juga masakanku ... bahkan baunya pun bisa aku jual!" kata si pemilik warung dalam hati.
Ketika selesai memakan nasi putih, anak muda itu menghampiri si pemilik warung dan membayar seharga satu piring nasi. Pemilik warung tidak senang, "He anak muda, seperti aku telah katakan, engkau harus membayar lagi seperempat harga masakanku untuk bau yang telah engkau nikmati!"
"Baiklah," kata si anak muda sambil merogoh kantong dan mengambil beberapa keping rupiah serta kemudian menjatuhkannya ke atas meja, cring, cring, cring!, "Nah, karena aku hanya menikmati bau-bauan masakanmu, maka aku membayarnya dengan suara kepingan logam ini. Kamu sudah mendengarnya bukan? Lunas sudah!" katanya sambil memungut kembali kepingan logam itu dan ngeloyor pergi.
Pemilik warung makan pun terdiam tidak bisa berbuat apa-apa.
Adakalanya kita bertingkah seperti pemilik warung, dalam dongeng favorit masa kecil saya itu. Tidak rela orang lain ikut menikmati atau merasakan kesenangan dari apa yang kita lakukan atau sesuatu yang kita klaim sebagai bagian dari diri kita. Seolah-olah semuanya milik kita dan orang lain tidak berhak untuk menikmatinya. Bahkan untuk sesuatu yang tidak langsung kita lakukan sekali pun, seperti cerita bau masakan di atas. Apalagi untuk hal yang jelas-jelas merupakan hasil kerja keras kita, kemudian orang lain tanpa ikut bekerja menikmati hasilnya! Orang seperti ini masuk kategori orang yang "susah melihat orang lain senang dan senang melihat orang lain susah".
Padahal jelas, keberadaan kita di dunia ini ada maksudnya. Bukan semata-mata untuk diri sendiri, tetapi justru kita diciptakan untuk menjadi bagian dari umat di bumi yang seperti rangkaian elektronik, terkoneksi satu sama lain. Tidak ada satu pun di dunia ini yang Anda sungguh-sungguh bisa lakukan sendirian. Bahkan untuk urusan pribadi buang air kecil pun, Anda butuh tissue, air, tempat yang secara langsung maupun tidak, keterlibatan (baca: bantuan) orang lain (sudah) Anda rasakan.
Selamat pagi dan selamat bekerja n