Di tengah Pasar Benhil ada 'foodcourts', yang antara lain menjual masakan Padang. Ketika saya berkantor di daerah itu beberapa tahun lalu, salah satu menu favorit saya adalah Gulai Kepala Ikan. Sampai sekarang saya masih sering terngiang-ngiang cita-rasanya. Mmm, sedap. Biasanya saya kesana kalau memang punya waktu longgar, tidak ada meeting atau agenda lain selepas makan siang, sehingga saya bisa santai, penuh kesabaran dan ketelitian menikmati kepala ikan itu. Sudut demi sudut.
Entah kenapa makan kepala ikan membawa sensasi tersendiri bagi saya. Termasuk pecel lele. Yang saya sukai adalah ukuran lele yang tidak terlalu besar dan digoreng kering. Kepalanya akan terasa chrispy dan gurih di langit-langit mulut. Apalagi kalau sambelnya cocok.
Ayah saya juga penggemar kepala. Segala jenis kepala. Mulai dari kepala ayam sampai kepala kambing. Yang saya ingat, bila ibu menggoreng ayam, ayah sering mendorong kami untuk makan kepalanya. "Jupuken endhase, cik ben dadi pemimpin!" kata beliau meyakinkan. Ambil dan makan kepalanya supaya jadi pemimpin, begitu kira-kira. Entah ada hubungannya dengan kegemaran beliau makan kepala atau tidak, ayah saya memang mengakhiri karir profesionalnya sebagai kepala inspeksi guru di sebuah kabupaten di Yogyakarta.
Bicara soal kepala dalam budaya Jawa, berarti bicara soal status sosial. Setidaknya yang saya pahami selama ini. Menjadi kepala, menduduki jabatan pangreh praja, berarti menjadi 'priyayi' sebuah sebutan kelompok masyarakat berkelas dalam budaya Jawa. "Gedhe dadi priyayi!" memang menjadi kudangan (timangan) umum orangtua kepada anak-anaknya. Saya ingat, apabila kami berkunjung ke leluhur, simbah, eyang, buyut di hari Lebaran selalu kata-kata harapan "Dadi priyayi ya Le!", jadilah priyayi begitu kurang lebih, tak henti-hentinya kami terima.
Tetapi pemaknaan saya terhadap "menjadi priyayi", menjadi kepala, menjadi pejabat, sekarang ini berbeda dengan apa yang saya pahami semasa saya kecil. Menjadi "priyayi" menjadi pejabat, bukanlah keistimewaan bagi saya, karena semua orang ternyata bisa menjadi pejabat, bisa menjadi kepala, bisa menjadi "priyayi". Tetapi tidak semua pejabat itu sesungguhnya bisa menjadi pemimpin (leader). Ada karakter khusus yang diperlukan bagi seseorang untuk bisa memimpin, seperti kata Lead (memimpin) dalam Bahasa Inggris yang mempunyai karakter awal yang sangat berbeda dengan kata Head (mengepalai). Nah, menduduki jabatan tertentu sah-sah saja, tetapi yang lebih penting adalah: apakah kita sudah menjadi seorang pemimpin (yang baik)? merupakan pertanyaan reflektif yang justru mendasar dan perlu kita selalu ingat.
Selamat pagi dan selamat bekerja n